Senin, 18 Februari 2013

FA'IL



PEMBAHASAN MENGENAI FA’IL

Keadaan suatu isim dikatakan marfu’ ada 7 keadaan, yaitu :

الفَاعِلُ
نَائِبُ الفَاعِلِ
المُبْتَدَأُ
الخَبَرُ
إِسْمُ كَانَ
 خَبَرُ إِنَّ
تَوَابِعُ

Dari ketujuh keadaaan ini, ketika suatu isim menempati kedudukan dari salah satu hal di atas, menyebabkan suatu isim menjadi marfu yang perubahan isimnya sebagaimana yang terdapat pada tabel.

Fa’il

Fa’il adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il ma’lum dan menunjukkan atas orang yang melakukan perbuatan. Dalam bahasa Indonesia, fa’il biasa disebut subjek.


Dari pengertian di atas, kita tekankan bahwa, tidaklah disebut fa’il jika tidak terletak setelah fi’il ma’lum dan tidaklah disebut fa’il jika tidak menunjukkan sesuatu yang melakukan perbuatan. Sehingga suatu isim bisa dikatakan fa’il jika terpenuhi dua syarat di atas.

Contoh :

قَالَ نُوْحٌ (qoola nuuhun) =Nabi nuh berkata

Kata نُوْحٌ marfu dengan dhommah karena isim mufrod, sebagai fa’il karena setelah fi’il ma’lum.

إِذَا جَاءَكَ المُنَافِقُونَ (idza jaa akal munaafiquuna)=Ketika para munafik datang kepadamu.

Kata المُنَافِقُونَ marfu’ dengan tanda wau karena ia isim jama’ mudzakkar salim, sebagai fa’il karena didahului fi’il ma’lum.

Bentuk fa’il dalam kalimat terbagi dua, yakni
Bisa berupa isim dzhohir (bukan dhomir)
Contoh :

دَخَلَ الْجَنَّةَ رَجُلٌ فِي ذُبَابٍ (dakholal jannata rojulun fii dzubaabin)
Seorang laki-laki masuk surga disebabkan seekor lalat

Kata رَجُلٌ isim dhzohir marfu dengan tanda dhommah yang merupakan isim mufrod, sebagai fa’il karena terletak setelah fi’il ma’lum.

Bisa berupa dhomir
Contoh :

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ (wallahu kholaqokum wa maa ta’maluun)
Dan Allah, dialah yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat.

Dari kalimat di atas, lafadz jalalah اللهُ bukanlah merupakan fa’il, karena terletak sebelum fi’il ma’lum, namun pada kata خَلَقَ terdapat fa’il yang berupa dhomir هو yang merupakan kata ganti dari lafadz jalalah اللهُ (cek kembali tashrif fi’il madhi), sehingga dhomir هو adalah fa'ilnya. I’rob dari dhomir, mabni atas fathah sebagai fa’il.

Ketentuan-ketentuan fa’il

1. Fa’il selalu marfu’ dan terletak setelah fi’il ma’lum, baik secara langsung atau dipisahkan dengan isim yang lain.
Contoh :

رَجَعَ المُسْلِمُونَ مِنَ الْمَسْجِدِ (roja’a almuslimuuna minal masjidi)=para muslimin kembali dari masjid

رَجَعَ مِنَ الْمَسْجِدِ المُسْلِمُونَ (roja’a minal masjidi almuslimuuna)= para muslimin kembali dari masjid

Kata المُسْلِمُونَ merupakan isim jama’ mudzakkar salim, marfu dengan tanda wau, sebagai fa’il karena terletak setelah fi’il ma’lum.

2. Jika fa’il berupa isim mufrod, mutsanna atau jamak, maka fi’il ma’lumnya tetap dalam keadaan mufrod.
Contoh :

جَاء رَجُلٌ (jaa a rojulun)= satu orang laki-laki datang

جَاءَ رَجُلاَنِ(jaa a rojulaani)=dua orang laki-laki datang

جَاءَ رِجَالٌ (jaa a rijaalun)=para laki-laki datang

3. Jika fa’il berupa isim muannats atau mudzakkar, maka fi’ilnya juga harus muannats atau mudzakkar.
Contoh :

جَاءَتْ إِمْرَأَةٌ (jaa at imroatun)=seorang perempuan datang

تَذَْهَبُْ مَرْيَمُ (tadzhabu maryamu)= maryam pergi

قَالَتْ عَائِشَةُ (qoolat ‘aisyatu)=aisyah berkata

4. Fi’il wajib muannast jika
a. Fa’il berupa isim dhohir yang merupakan muannast haqiqi yang datang langsung setelah fi’il

          Contoh :

           قَالَتْ خَدِيْجَةُ (qoolat khodiijatu)=khodijah berkata

            تَجْلِسُ هِنْدٌ (tajlisu hindun)= hindun duduk


b. Fa’il berupa dhomir yang kembali kepada isim muannast

          Contoh :

           إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ (idza assamaa unfathorot)= ketika langit terbelah

           Dalam kata انْفَطَرَتْ terdapat dhomir هي yang merupakan kata ganti dari السَّمَاءُ.

5. Fi’il boleh muannast atau mudzakkar jika
a. Fa’il berupa isim muannast haqiqi yang terpisah dari fi’ilnya atau diselingi oleh isim yang lain.

          Contoh :

          إِذَا جَاءَكُمْ المُؤْمِنَاتُ (idza jaa akum almuminaatu)= ketika para wanita mu’min datang kepadamu

b. Fa’il berupa muannats majazi

          Contoh :

       طَلَعَ الشَّمْسُ / طَلَعَتِ الشَّمْسُ (thola’as syamsu / thola’atis syamsu)=matahari telah terbit

c. Fa’il berupa jama’ taksir

          Contoh :

           جَاءَ الرُّسُلُ / جَاءَتْ الرُّسُلُ (jaa arrusulu/jaa atirrusulu)= para rosul datang


Kasus :
Jika kita melihat hal ini, maka kita akan merasa geli ketika ada seorang yang mengaku nabi dan rosul padahal ia adalah seorang wanita, mereka berdalil dengan surat ibrohim ayat 10 berikut :

قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?

Orang yang tidak mengerti bahasa arab akan mengatakan, “rosul itu ada yang perempuan, karena fi’il yang digunakan berupa perempuan yakni قَالَتْ, sehingga dari hal ini, rosul perempuan itu ada”.

Kita jawab :
Inilah perkataan orang yang tidak mengerti bahasa arab, dan menafsirkan bahasa arab hanya menurut hawa nafsunya. 
Jika kita mempelajari sedikit hal mengenai pembahasan fa’il ini, kita akan tahu bahwa kata رسل merupakan isim jama’ taksir, sehingga jika ia berkedudukan sebagai fa’il, maka fi’ilnya boleh muannats dan boleh mudzakkar, seperti pada ketentuan di atas.




0 comments:

Posting Komentar